Pelatihan Pesta Siaga

Pelatihan siswa siswi di MI Banaran guna mempersiapkan lomba pesta siaga di desa Penundan Sabtu 8 November 2014.

Santunan Anak Yatim Piatu

Kegiatan santunan anak yatim piatu ini dilaksanakan tanggal 4 November 2014, di ikuti oleh warga desa banaran dan tim KKN UNNES 2014

Kerja Bakti

Kegiatan kerja bakti di pemakaman desa banaran pada tanggal 7 november 2014. Yang diikuti oleh warga desa banaran dan tim kkn unnes 2014

Balai Desa

Kantor Kepala Desa Banaran

Kamis, 24 November 2016

Nangka Khas Banaran

Buah-buahan merupakan produk pertanian yang memiliki banyak fungsi, salah satunya adalah pelengkap nutrisi. Fenomena yang menggembirakan dalam beberapa tahun terakhir adalah permintaan buah- buahan tropis cenderung meningkat, salah satunya adalah nangka.  
Nangka merupakan salah satu jenis tanaman yang tumbuh di daerah tropis, salah satunya adalah Indonesia.  Buah dari nangka merupakan salah satu buah yang diminati di Indonesia dan sering dijadikan buah meja yang dikonsumsi setelah makan. Di tempat yang cocok nangka dapat berbuah sepanjang tahun.
Bentuk morfologis dari tanaman nangka terdapat akar, batang, buah, daun. Tanaman nangka memiliki  struktur perakaran tunggang. Akar utama berbentuk bulat panjang dan dapat menembus tanah cukup dalam sementara akar cabang dan bulu akar menyebar ke segala arah. Batang tanaman nangka berbentuk bulat panjang, berkayu keras dan lurus. Buah nangka pada umunya berbentuk lonjong atau bulat, berukuran besar dan berduri lunak.  Seluruh bagian tanaman ini terdapat getah putih pekat. Daun dari tanaman ini berbentuk daun tunggal yang mudah rontok. Bila telah masak daging buah ini akan berwarna kuning, berbau harum dan manis, kadang ada cairan yang manis. Didalam buah nangka terdapat biji yang berbentuk lonjong yang biasa disebut beton.
Buah nangka yang telah masak dapat diolah menjadi jus, selai, kolak dan sebagainya. Namun tidak hanya nangka yang telah masak saja yang dapat dimanfaatkan namun nangka yang belum masakpun juga dapat  dimanfaatkan, misalnya diolah menjadi sayuran yang dikenal dengan sebutan ‘gori’.  Buah nangka mengandung kalsium yang cukup besar sehingga sangat berguna untuk mengatasi penyakit hipertensi dan mencegah infeksi. 
Selain buah  bagian nangka yang yang lain dapat dimanfaatkan. Biji nangka bermanfaat untuk menjaga kesehatan, diantaranya adalah meningkatkan daya tahan tubuh dan menjaga kesehatan mata.Biji ini dapat dikonsumsi setelah direbus maupun digoreng. Selain itu, biji nangka dapat diolah menjadi tepung. Daunnya yang dapat dijadikan sebagai pakan ternak.
Nangka merupakan salah satu buah andalan dari desa Banaran, selain rambutan, durian, pisang.  Buah yang berwarna kuning ini (jika sudah matang)  merupakan buah musiman seperti halnya buah andalan desa ini yang lainnya. Namun perbedaanya terletak pada jangka waktu musim nangka  yang relatif lebih lama, yaitu terletak pada bulan April hingga Februari. Jadi, jangka waktu berlangsung musim nangka di desa Banaran  ±9 bulan dan masa panen raya terdapat pada pulan November.
Desa Banaran pernah mengolah nangka menjadi sesuatu hal yang menarik untuk dikonsumsi, diantaranya ada dodol nangka, sirup nangka, manisan nangka, kripik nangka. Kreativitas masyarakat desa Banaran perlu diacungi jempol. Hal ini  karena berkat kreativitas masyarakat itulah nilai jual nangka semakin tinggi dan tingkat konsumsi nangka juga semakin tinggi, khususnya di desa Banaran.
Nangka yang ada di desa banaran sudah didistribusikan ke Lumajang, Malang, Jakarta, Bekasi, Brebes.  Usaha pendistribusian ini dikelola oleh salah satu warga dari desa Banaran yang bernama Bapak H. Muchar. Beliau  menekuni usaha pendistribusian nangka ini ±45 tahun. Beliau mendapatkan nangka dari warga yang berdatangan kepada beliau untuk menjual nangka milik mereka. Beliau membeli nangka dalam satuan kilogram. Beliau mengelompokkan nangka yang hendak dijual dalam 3 tingkatan berdasarkan kualitas, yaitu : A, B dan BS. Dalam seminggu, beliau mampu mendistribusikan nangka sebanyak 15 ton. Nangka yang beliau distribusikan merupakan nangka yang belum matang. Hal ini bertujuan agar nangka tiba di tempat tujuan dalam keadaan yang segar.

            Jadi, buah nangka merupakan salah satu potensi yang dimiliki desa Banaran. Untuk meningkatkan nilai dari tanaman yang menjamur di desa Banaran, masyarakat harus berkreasi dalam mengolah dan memanfaatkan. Selain untuk meningkatkan nilai dari tanaman tersebut, pengolahan dari nangka akan meningkatkan tingkat konsumsi nangka, khususnya di daerah Banaran. 

Petilasan K.H Abdus Syakur

                Salah satu potensi wisata religi yang terdapat didesa Banaran, Banyuputih, Batang adalah petilasan atau peninggalan bersejarah berupa makam milik K.H Abdus Syakur. Tempat pemakaman tersebut terletak didalam Masjid Jami’ Baitul Mutaqin. Tidak susah untuk menemukan makam Beliau, karena letaknya yang strategis dan berada didekat pertigaan Jalan raya Banaran – Limpung yang membutuhkan waktu kurang lebih sekitar lima menit dari Jalur Utama Pantura.

                K.H Abdus Syakur merupakan tokoh pemuka agama Islam pertama ditanah desa Banaran. Beliau membawa agama Islam pertama kali pada sekitar tahun 1880, dengan mengajarkan kesebelas anaknya belajar agama Islam. Sebelum K.H Abdus Syakur mengenalkan agama Islam didesa Banaran, mayoritas penduduk desa Banaran tidak memahami agama secara baik dan benar. Sehingga, K.H Abdus Syakur  terketuk hatinya untuk mewarisi pengetahuan tentang agama Islam kepada anak-anaknya terlebih dahulu. Selanjutnya ajaran yang mereka terima dari Ayah mereka (K.H Abdus Syakur) disebarluaskan kepada penduduk sekitar desa Banaran dengan menambah unsur kependidikan dalam setiap ajarannya. Tak hanya mengajarkan agama islam, K.H Abdus Syakir juga membangun masjid untuk beribadah sholat lima waktu bagi keluarganya dengan mewakafkan sepertiga tanahnya untuk pembangunan Masjid yang sudah dirombak total pada tahun 2004 Masjid itu dikenal dengan Masjid Jami’ Baitul Mutaqin.

                Babad singkat cerita K.H Abdus Syakur, dahulu Beliau adalah santri disalah satu pondok diKaliwungu kemudian kembali kedesa Banaran untuk berbagi ilmu yang Beliau miliki. Sesudah itu, Beliau membangun Masjid untuk beribadah Beliau dan keluarganya didekat rumah mereka, dan menjadi tempat anak-anak Beliau belajar ilmu mengenai Agama. Selanjutanya, Beliau menunaikan Rukun Iman yang kelima; Haji menggunakan kapal dengan estimasi waktu perjalanan sekitar 5 – 6 bulan lamanya. Setelah Beliau pulang dari menunaikan Haji diMekah, beliau kembali membimbing anak-anak untuk mengetahui agama Islam secara lebih dalam. Hingga pada ssuatu malam, K.H Abdus Syakur memerintahkan seluruh keluarganya yang terdiri dari anak dan kedua istrinya untuk menginap semalam di Masjid yang telah K.H Abdus Syakur bangun sebelumnya. Atas titah dari K.H Abdus Syakur, semua keluarga menginap didalam Masjid menggunakan tikar yang mereka bawa dari rumah.


                Keesokkan harinya, pada hari Sabtu Pahing 17 Safar 1944 M. pada saat jam 11, anak tertua dari K.H Abdus Syakur menemukan Beliau sudah tidak menghembuskan napas saat ingin melakukan kegiatan bersuci; wudhu. Atas pertimbangan dari keluarga Beliau, para keturunan Beliau memutuskan untuk memakamkan Beliau didalam Masjid Jami’ Baitul Mutaqin, dan makamkan disebelah kiri tempat imam menunaikan ibadah sholat wajib.


          

Wisata Kali Winong


            Sungai atau sering kita sebut dalam bahasa jawa “kali” ini dapat kita jumpai diberbagai tempat, salah satunya di daerah desa Banaran Kecamatan Banyuputih Kabupaten Batang. Kali atau Sungai di daerah ini tidak seperti halnya sungai pada umumnya, melainkan berbentuk sumber mata air yang di dapat dari air tanah. Penduduk desa Banaran sering menyebutkannya dengan nama “Kali Winong”. Kali winong merupakan salah satu sumber mata air yang dimanfaatkan oleh warga desa Banaran untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari tentunya. Sumber mata air ini di ambil dengan cara menyambungkan pralon dan di alirkan keluar dari tanah.
Sebutan Kali Winong di dapat dari kata Kali yang artinya sungai, sedangkan air pada sungai itu sifatnya terus mengalir, dan untuk kata Winong di dapat dari nama pohon yang berumur beratus – ratus tahun lamanya yang berada di tempat tersebut. Maka dari itu air pada “Kali Winong” tidak pernah habis dari pertama kali ditemukan sampai sekarang. Pusat sumber mata air tersebut di berasal dari perbatasan desa Kalangsono dan desa Banaran. Untuk umurnya sendiri, “Kali Winong berumur sekitar kurang lebih satu abad lebih.
Karakteristik pada air “Kali Winong” tergolong layak untuk di konsumsi atau digunakan. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya pembuatan PANSIMAS atau kata lainnya yaitu tempat untuk menyalurkan air ke rumah – rumah warga. Pembuatan PANSIMAS itu sendiri melibatkan tim dari dinas kesehatan untuk menguji kelayakan air pada “Kali Winong” mulai dari kadar PH, rasa, warna, dan lain sebagainya dengan mengaitkan sifat akustik air yaitu di antaranya ada sifat air secara fisika , kimia dan biologi.
Pada tahun 1992 “Kali Winong” belum sebagus sekarang dimana sekarang sudah menyalurkan air dengan pralon, sebelumnya yaitu dengan bambu saja, dan mengalir ketanah tanpa ada tampungan serta penduduk desa Banaran mengambil air dengan cara mengangsu. Kemudian pada tahun 2012 dibangunlah PANSIMAS tersebut untuk memudahkan warga desa Banaran. Untuk pemasangan air di setiap rumah dikenai harga awal atau DP sebesar tiga ratus lima puluh ribu rupiah, untuk perbulannya warga desa Banaran membayar per meter kubiknya sebanyak seribu dua ratus rupiah.

Hal unik dari “Kali Winong” adalah termasuk sumber mata air di desa Banaran yang mempunyai umur lebih dari satu abad dan air pada “Kali Winong” tidak pernah habis semenjak pertama kali ditemukan sampai sekarang. Selain itu sifat akustik airnya juga sangat memenuhi kriteria sifat fisika, kimia dan biologi air yang layak konsumsi. Maka dari itu “Kali Winong” patut untuk dijaga dan dijadikan wisata bahari di daerah Kabupaten Batang Kecamatan Banyutih tepatnya di desa Banaran.

Lengko Khas Banaran

Sudah taukah anda?, bahwa singkong atau banyak yang menyebutnya ubi kayu adalah keluarga tanaman Euphorbiaceae yang hidup tahunan didaerah tropika dan subtropika dari keluarga Euphorbiaceae. Secara tradisional, singkong sangat diminati sebagai pengganti dari makanan pokok kita yaitu nasi. Hal ini tidak salah lagi, karena singkong memang mengandung cukup tinggi kalori dan sumber energi yang baik. Singkong rendah lemak dan 0 kolesterol, namun ia cukup tinggi kalori, bahkan hampir dua kali lipat kalori daripada kentang. Hal ini mungkin yang tertinggi dari setiap umbi tropis yang kaya pati. 100 g ubi kayu menyediakan 160 kalori, terutama berasal dari sukrosa yang membentuk sebagian besar gula pada umbi-umbian, yang total terhitung lebih dari 69 % dari total gula. Gula kompleks amilosa lainnya adalah sumber karbohidrat utama yaitu sekitar 16-17 %. Dengan demikian, singkong bisa sebagai makanan alternatif selain nasi untuk mendapatkan cukup energi bagi tubuh kita.
            Dalam perkembangannya, singkong kini banyak dimanfaatkan untuk membuat berbagai macam panganan, atau diambil patinya untuk berbagai macam kebutuhan. Hal ini tentu tidak asing lagi bagi para penggemar Singkong. Olahan yang berbahan dasar singkong sangat banyak ragamnya. Salah satu contohnya adalah tape, getuk, keripik singkong, klepon dan lain sebagainya.
            Di daerah kabupaten Batang, kecamatan Banyuputih khususnya di daerah desa Banaran adalah salah satu daerah yang mampu memanfaatkan singkong menjadi olahan tradisonal dan menjadikannya sebagai ciri khas desa tersebut dalam bidang wisata kuliner Indonesia. Olahan makanan ini sering disebut dengan “Lengko” yang tentunya berbahan dasar dari singkong. Pembuatan, tampilan dan pengemasannya pun cukup sederhana karena untuk saat ini makanan “Lengko” hanya di produksi dikalangan rumahan saja. Produksi untuk “Lengko” ini belum mencapai tahap pemasaran ke luar daerah. Tetapi untuk makanan “Lengko” hanya ada dan hanya diproduksi ataupun hanya di jual di daerah Desa Banaran, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Batang. Hal ini tentu sangat unik bagi para penggemar singkong di seluruh penjuru dunia.
 Selain keunikan dalam bidang produksi yang hanya ada di desa Banaran yaitu diantaranya adalah proses pembuatan “Lengko” itu sendiri. Berbagai step atau langkah–langkah dalam pembuatannya sangat sederhana, mulai dari alat dan bahan yang digunakan sampai pengolahannya. Bahan utama yang digunakan tentu saja singkong, yaitu dimana singkong tersebut dikupas, dicuci dan kemudian dilanjutkan dengan proses perebusan. Singkong yang sudah matang tersebut kemudian dihancurkan hingga lembut dan ditambahkan dengan campuran bumbu garam, gula serta bawang putih yang sudah dihaluskan sebelumnya. Selanjutnya bahan setengah jadi tersebut digiling dengan sebuah alat agar dapat berbentuk seperti mie yaitu memanjang dan berdiamater sekitar 0,25 cm. Bahan setengah jadi ini akan dibentuk kembali menyerupai bunga dengan lingkaran berlubang yang berjumlah 6. Kemudian “Lengko” setengah jadi tersebut dijemur kurang lebih setengah hari atau bisa juga dengan melakukan proses penggarangan yaitu pemanggangan yang dilakukan di atas tungku api yang sedang.
Salah satu penduduk Desa Banaran yang memproduksi camilan rumahan ini atau “Lengko” ini adalah Ibu Nurtijah. Rumah Ibu Nurtijah berada di Desa Banaran dukuh Banaran. Beliau termasuk penerus pembuat camilan “Lengko” yang resepnya sudah turun temurun. Dengan keahliannya beliau mampu membuat “Lengko” dengan menghabiskan 20 kg singkong per harinya. Beliau sudah menekuni bidang ini selama 3 tahun, dan penghasilannya cukup untuk kebutuhan keluarganya. Bersama suaminya, ibu Nurtijah membuat dan menjual “Lengko” setiap harinya dengan harga seribu rupiah per bungkusnya. Penghasilan bersih yang didapat per harinya bisa mencapai lima puluh ribu rupiah sampai seratus ribu rupiah. Untuk perbungkusnya “Lengko” berisi sepuluh biji, dan tentu saja harga ini sangat terjangkau untuk kalangan masyarakat menengah ke bawah.

Camilan “Lengko” ini bisa menjadi camilan yang mungkin dapat menjadi wisata kuliner Indonesia khas kabupaten Batang, kecamatan Banyuputih, khususnya Desa Banaran dengan mengunggulkan keunikan rasa dan cara pembuatannya.

Makam Ki Ageng Rogo Selo

Indonesia adalah negara yang mempunyai keanekaragaman diberbagai bidang. Mulai dari kebudayaan etnic, sumber daya alam yang melimpah, keanekaragaman bahasa tiap daerah serta peninggalan sejarah yang ada di setiap daerah di Indonesia.
Khususnya untuk sejarah itu sendiri, setiap daerah pasti mempunyai cerita yang berbeda beda, dan tentunya asal usul yang melatar belakangi dengan disertai adanya  peninggalan atau jejak sebagai bukti adanya sejarah tersebut. Sejarah tidak akan pernah luput dari kehidupan setiap manusia yang sering kita sebut sebagai masa lalu yang tidak mungkin hilang begitu saja. Sejarah juga akan meninggalkan kenangan cerita dan jejak atau peninggalannya. Hal ini tentu saja dapat kita manfaatkan untuk melestarikan kearifan lokal yang ada di Desa Banaran ini. Dengan adanya informasi ini, diharapkan dapat digunakan untuk menceritakan ke anak cucu kita agar tetap ada kenangan sejarah serta dapat menjaga kekayaan Indonesia karena sejarah merupakan salah satu dari kekayaan negara Indonesia.
Di daerah Kabupaten Batang, Kecamatan Banyuputih, tepatnya desa Banaran terdapat berbagai macam cerita sejarah. Salah satunya adalah makam yang dikeramatkan oleh penduduk desa Banaran, yang sekarang ini dijadikan sebagai objek wisata religi. Makam yang dikeramatkan ini atau orang jawa tengah sering menyebutkannya pesarean dapat kita jumpai di desa Banaran yang ada di dukuh Randusari. Makam ini di tempati oleh seorang tokoh masyarakat yang sangat di hormati dan dijadikan sebagai panutan atau suri tauladan di desa Banaran tesebut. Selain itu pula, beliau juga sangat berperan penting dalam berdirinya desa Banaran ini.

Di Kabupaten Batang ada beberapa tokoh yang berperan penting dalam kegiatan religi, diantaranya adalah Ki Ageng Sabuk Walu dan Ki Ageng Rogo Selo. Ki Ageng Sabuk Walu merupakan tokoh masyarakat dari desa Sembung tetangga desa dari desa Banaran. Adapun tokoh masyarakat dari desa Banaran adalah Ki Ageng Rogo Selo. Beliau merupakan salah satu kyai yang mempunyai kedudukan penting di Kabupaten Batang tepatnya di Desa Banaran. Selain seorang kyai beliau juga seorang pejuang islam dan pendiri desa Banaran. Ki Ageng Rogo Selo menyebarkan ajaran islam di daerah desa Banaran khususnya, dengan berbekal ilmu pengetahuan islam beliau bukan hanya mengajarkan dasar dari islam seperti salah satunya sholat lima waktu tetapi juga mengajarkan adanya pengajian rutin di berbagai dukuh di desa Banaran.
Ki Ageng Rogo Selo atau sering disebut dengan Syeh Jalalluddin hidup pada jaman kerajaan Mataram, kira kira ratusan puluhan tahun lalu. Ki Ageng Rogo Selo, berasal dari kata Rogo dan Selo. Rogo yang berarti Jiwa dan Selo artinya mempunyai kualitas tinggi atau istimewa. Jadi, Ki Ageng Rogo Selo diartikan sebagai tokoh masyarakat yang mempunyai jiwa yang istimewa. Meskipun Ki Ageng Rogo Selo ini terkenal kaya raya, beliau mempunyai niali sikap tenggang rasa yang tinggi. Hal inilah yang membuat beliau dilihat sebagai sosok yang mempunyai jiwa yang istimewa.
Dalam kegiatan masyarakat, Beliau mempunyai juru pekatike atau sering disebut juru bicara yaitu Eyang sumo Direkso yang juga dijadikan sebagai tangan kanannya. Beliau menyukai warna merah yang artinya berani, beliau juga mempunyai sifat yang sangat terpuji, salah satu contohnya rasa toleransi dan tenggang rasa terhadap sesama manusia.
Mengingat usia makam Ki Ageng Rogo Selo ratusan puluhan tahun yang lalu, keberadaan Ki Ageng Rogo Selo belum bisa dipercaya oleh masyarakat Banaran saat ini. Ada beberapa mitos menyebutkan bahwa Ki Ageng Rogo Selo ini memberikan jejak peninggalan berupa ‘watu’ bagi orang Jawa atau sering disebut dengan batu dengan berbentuk lesung seperti tempat wudhu atau orang Islam sering menyebutnya ‘padasan’. Namun, hingga saat ini belum ada kejelasan dimana keberadaan lesung tersebut.

Jika kita berbicara mengenai sejarah, tentunya kita tidak bisa jauh-jauh dengan yang namanya peninggalan. Meskipun sampai sekarang belum ditemukan peninggalan jejak daripada Ki Ageng Rogo Selo, setidaknya kita bisa menghargai keberadaan beliau dengan menjaga dan merawat pesarean daripada Ki Ageng Rogo Selo sebagai wujud pelestarian kearifan lokal yang ada di Desa Banaran.